![]() |
Penampilan seperti ini tinggal kenangan. (Sumber foto: kaskus.us) |
Para penari, biasanya sekitar tiga orang, menari-nari dengan gerakan semacam jathilan atau kuda lumping lengkap dengan cambuk di tangan. Sementara beberapa rekan mereka bertugas menabuh gamelan di atas trotoar. Pentas semenit itu begitu meriah dan cukup menghibur para pengguna jalan yang kepanasan menunggu lampu hijau menyala.
Saat itu penampilan mereka sangat menarik perhatian. Sebab inilah cara mengamen gaya baru yang dapat disuguhkan di atas zebra cross. Sebelumnya persimpangan lampu merah dimeriahkan para pengamen konvensional yang bermain gitar sembari menyanyi dari mobil ke mobil untuk memungut “apresiasi” dari para pengguna jalan.
Inovasi, segala sesuatu yang baru, pasti ada pengekornya. Ini pun terjadi dengan para penari jalanan ini. Jika pada awalnya hanya pada persimpangan di titik-titik tertentu saja yang dimeriahkan oleh penampilan mereka, lama-lama keberadaan orang semacam itu pun semakin banyak. Mereka dapat ditemui di berbagai persimpangan-persimpangan lampu merah di kota Jogja.
Namun sayang, selama kurun waktu yang telah mereka lewati untuk “berpentas”, suguhan mereka tak pernah berkembang, malah justru mundur. Tidak pernah lagi ada gerakan-gerakan atau jenis tarian baru yang mereka tampilkan. Masih sama seperti pada awal keberadaan mereka.
Lama-lama yang terlihat hanya sebatas gerakan-gerakan sederhana yang boleh jadi orang yang tak pernah belajar menari pun bisa melakukannya. Musik yang ditabuh monoton dan konstan. Sama sekali tidak ada cita rasa baru yang mereka suguhkan. Kostum pun tak lagi semeriah dulu. Sekarang mereka cukup memakai rompi ala Punakawan dan topeng.
Jika terus-menerus bertahan demikian, tidak lagi berkreasi untuk menyuguhkan atraksi baru, niscaya orang tidak lagi melirik mereka. Jangankan tepuk tangan, “apresiasi” berupa sekeping koin pun akan sulit mereka dapatkan.
Sebenarnya mereka butuh pendampingan dari para seniman yang menjunjung tinggi kreativitas. Mereka perlu bertukar pikiran, wawasan, pengalaman, dan latihan bersama dengan para seniman yang berpentas di atas panggung betulan. Bisa juga dibentuk semacam perkumpulan atau paguyuban yang mempertemukan para seniman yang berada di dua panggung yang berbeda itu.
Tidak hanya seniman, para pelaku seni amatir (orang-orang yang berkesenian namun bukan sebagai mata pencarian pokok) pun dapat mengembangkan sebuah sanggar bagi mereka untuk berkreativitas. Upaya-upaya ini tentu saja membutuhkan sejumlah relawan-relawan yang gigih.
Jika selama ini para relawan banyak memperhatikan anak-anak jalanan, boleh jadi kita (yang tergerak hatinya) menjatuhkan pilihan untuk menjadi relawan yang mendampingi para penari jalanan ini untuk berkreativitas.
Harapannya para penari zebra cross ini kelak dapat menampilkan kreasi-kreasi baru di jalanan dan layak mendapatkan “apresiasi” dari para pengguna jalan. Tidak hanya koin atau selembar rupiah, namun juga standing applause.
Comments
Post a Comment