Suatu malam, ketika rumah saya mendapat giliran menjadi pos ronda, kawan-kawan sekampung berbincang-bincang tentang rezeki para pekerja sektor informal, yaitu orang-orang yang membuka usaha sendiri di luar hubungan kerja dengan suatu lembaga atau perusahaan. Beberapa contohnya ialah pedagang keliling, pedagang asongan, seniman/artis, penjual jasa, dan lain sebagainya.
Obrolan kami kemudian menekankan kepada orang-orang yang berkecimpung dalam usaha skala kecil dengan penghasilan yang (sekilas tampak) kecil. Di mata kebanyakan orang, mereka kadang disebut orang miskin. Tetapi pada kenyataannya bisa sungguh mengejutkan. Ternyata mereka dapat hidup lebih layak ketimbang orang-orang yang bekerja di sektor formal, katakanlah pekerja kantoran.
Foto: Willy Putranta/Blok M, Jakarta, Juni 2011
|
Pada zaman ini, jenis pekerjaan seseorang rupanya bukan menjadi penentu jumlah penghasilannya. Bisa jadi, orang-orang yang bukan pekerja kantoran akan mendapat penghasilan lebih banyak daripada orang-orang kantoran.
Seorang tukang gesek nomor rangka dan mesin kendaraan bermotor di Samsat dalam sehari bisa mendapat penghasilan sebesar Rp 100.000,00. Jumlah itu tergantung seberapa banyak identitas kendaraan yang ia layani. Bandingkan saja dengan penghasilan karyawan kantoran atau buruh pabrik yang nominalnya mengikuti UMR daerah masing-masing. Bisa jadi penghasilan para pekerja formal ini jauh lebih rendah ketimbang mereka. Maka tak heran kalau selalu ada demo buruh di mana-mana.
Jadi, bagaimana para pekerja informal ini memperoleh rezeki yang cukup bagi dirinya dan keluarganya. Setiap orang tentu berbeda-beda pengalamannya. Saya sering mengamati para pedagang asongan, yang menjajakan barang dagangan dalam kotak sebesar kardus mi instan. Saya menyebut kotak itu sebagai "warung gendong". Bila kita bandingkan, ada orang yang membuka warung/toko/kios dapat hidup dari situ. Pedagang asongan juga begitu. Mereka dapat hidup dari warung yang digendongnya itu. Asumsi saya, dalam sehari mereka tak berhenti mengisi/menambah dagangan bila pada rentang waktu tertentu dagangannya sudah mulai habis. Jadi, usahanya dalam sehari terus bergulir. Tidak sekadar kalau dagangan sudah habis ya sudah, lalu pulang leha-leha di rumah. Tetapi selama "jam operasional"-nya belum berakhir, mereka tetap melanjutkan berjualan meski harus menambah materi dagangan lagi.
Lalu, mari kita bandingkan dengan pekerja kantoran. Ada teman saya yang bekerja di sebuah perusahaan mengaku mendapat gaji perbulan "lima koma". Maksudnya, tanggal lima isi dompet dan ATM sudah koma. Sudah habis untuk belanja bulanan, membayar cicilan, dan lain sebagainya. Lalu, bagaimana ia dapat bertahan?
Kata orang, rezeki tidak ke mana. Dalam hari-harinya yang tak pasti itu, selalu ada rezeki yang mengalir meski tak serta-merta jumlahnya. Sedikit demi sedikit rezeki datang. Asalnya dari permintaan orang-orang yang membutuhkan keahliannya dalam bidang tertentu. Selain itu ia juga menjual beberapa jenis barang yang bisa menghasilkan uang. Bisa jadi, dalam beberapa kasus ia terpaksa harus menjual koleksi perhiasannya.
Tetapi begitulah hidup. Rezeki sebenarnya selalu ada di tempat yang mungkin belum ia ketahui, tinggal bagaimana seseorang datang mencari dan mengambilnya. Segala usaha perlu dilakukan untuk mendapatkannya, meski harus berlari sekencang-kencangnya.
Tetapi, rezeki itu sebenarnya tetap diam di tempatnya, karena Tuhan memang sudah menyediakannya bagi kita. Tinggal bagaimana caranya kita menemukan letak keberadaan "harta karun" itu. Mungkin kita memang perlu berlari, melewati jalan berliku, atau malah cuma sekadar jalan santai tahu-tahu dapat rezeki nomplok.
Ya, memang begitulah jalan yang dapat ditempuh untuk memperoleh rezeki. Karena seperti gunung, rezeki tak akan lari meski dikejar.
Willy Putranta
Comments
Post a Comment