Skip to main content

Mata Angin

Arah mata angin menurut budaya Batak. (Sumber: habatakon01.blogspot.com)
“Barat itu mana ya?” tanya seorang teman ketika saya memberi ancer-ancer sebuah lokasi yang akan dicarinya.

“Barat itu arah yang menjadi letak matahari terbenam,” terang saya.

Begitulah salah satu pengalaman saya ketika berjumpa dengan seseorang yang buta terhadap arah mata angin. Biasanya, tanpa bermaksud menyinggung, orang-orang yang tidak paham arah mata angin tidak tumbuh di lingkungan budaya Jawa. Di lingkungan budaya Jawa, masyarakat sudah terbiasa menyebut mata angin sebagai penunjuk arah. Di Amerika pun sepertinya demikian. Sebab ketika menonton sebuah film, kadang terselip ucapan dari salah satu karakter dalam film itu yang mengatakan akan pergi ke utara, misalnya.

Orang-orang yang tidak terbiasa dengan arah mata angin biasanya hanya mengatakan kanan atau kiri untuk menunjukkan posisi atau lokasi. Seperti ketika saya berada di Jakarta, ketika saya bertanya kepada seseorang, ia hanya memberi informasi kanan dan kiri. Ketika saya tanya arah utara di mana, ia geleng-geleng kepala. Saat itu saya sebenarnya tahu arah utara itu di mana, sebab saya membawa kompas kesayangan yang selalu saya bawa ketika melakukan perjalanan ke luar kota.

Seorang teman yang berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat, mengungkapkan bahwa warga di tempat asalnya terbiasa menunjukkan arah berdasarkan posisi sungai dengan menyebut arah hulu atau hilir.

Dan sampai saat ini saya banyak bertemu dengan orang-orang yang tidak tahu arah mata angin.

Lalu saya teringat pada masa kecil saya ketika belajar tentang mata angin. Pada waktu kelas 3 SD saya dan teman-teman sekelas diajak oleh guru kami untuk membuat prakarya arah mata angin dari kertas berkilau yang ditempel di buku gambar kami. Arah mata angin itu bebentuk bintang dengan delapan ujung. Pada setiap ujung kami menulis Utara, Timur Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat daya, Barat, dan Barat Laut.

Selain itu kami juga belajar tentang membaca peta. Di peta selalu ada petunjuk arah mata angin. Arah utara selalu berada dalam posisi atas dalam gambar peta.

Dari pembelajaran yang sangat sederhana ini kami mengetahui di mana posisi kami berada. Ketika tersesat pun, kami jadi tahu ke mana arah kami harus melangkah sehingga sampai ke tempat yang kami kenali.

Jika hanya mengandalkan arah kanan dan kiri, itu hanya mengandalkan hapalan saja. Bahwa setelah ke kanan lalu ke kiri, misalnya. Tapi bagaimana jika kita tersesat? Jika kita bisa membaca peta, itu akan memudahkan kita untuk menemukan arah tujuan.

Sebagai contoh ketika saya bersama teman-teman kantor melakukan perjalanan dari Jogja ke Jember. Kami hanya mengandalkan peta jalur mudik lebaran dari salah satu operator seluler. Karena kami bisa membaca peta, niscaya kami dapat sampai ke tujuan dengan mudah.

Pada zaman dulu, ketika peralatan navigasi belum secanggih sekarang, para pelaut hanya mengandalkan konstelasi bintang dan petunjuk jarum kompas. Mereka tahu posisi tujuan pelayaran mereka dengan kedua hal itu.

Dalam keagamaan, arah mata angin juga dimanfaatkan. Umat Muslim memanfaatkan arah mata angin untuk menentukan kiblat salat. Dulu, sebelum ada perubahan, kiblat mengarak ke barat. Sekarang diubah menjadi agak condong ke arah Utara sepanjang 5 derajat (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/11/05/26/llt3rm-saat-tepat-penentuan-arah-kiblat-yang-tepat).

Di Jawa, umumnya warga membaringkan jenazah dengan kepala membujur ke utara. Dari seorang tetua di desa saya, saya memperoleh informasi mengapa jenazah di Jawa dimakamkan dengan posisi demikian. Pertama, ketika meninggal, jenazah seorang umat Muslim dimakamkan dengan kepala menghadap Ka’bah yang menjadi kiblat umat Muslim. Kedua, demi kerapian. Oleh sebab itu, tidak hanya jenazah umat Muslim saja yang dimakamkan dengan posisi demikian, tetapi juga umat beragama lain. Apalagi jika makam tersebut digunakan bersama-sama tanpa membedakan agama dan suku.

Inilah pula yang menjadi pegangan saya ketika berada di jakarta. Jika ingin mengetahui arah mata angin, jika kebetulan tidak membawa kompas. Cukup melihat masjid, ke arah mana umat Muslim berkiblat ketika salat. Atau dengan mencari area pemakaman untuk melihat ke arah mana nisan membujur.

Bahkan selain itu, matahari adalah petunjuk utama dalam hal arah mata angin. Bukankah matahari selalu terbit dari timur dan terbenam di sisi barat? Inilah ketetapan untuk bintang terdekat dari bumi ini selama belum kiamat. 

Comments

Popular posts from this blog

Sepeda Motor Bebek Injeksi Kencang dan Irit Jupiter Z1

Pernahkah Anda membayangkan sedang mengendarai seekor naga, reptil legendaris yang banyak dikisahkan dalam mitologi-mitologi dunia? Naga, dalam berbagai ragam budaya dan peradaban, digambarkan sebagai makhluk sakti yang berwujud ular atau kadal bersayap. Beberapa versi menyebutkan seekor naga mampu menyemburkan napas api dari mulutnya. Naga juga dapat dijadikan sebagai kendaraan, terutama untuk bertempur. Rupanya, sosok naga ini menginspirasi Yamaha Indonesia ( http://www.yamaha-motor.co.id/ ) untuk menghadirkan sebuah produk sepeda motor terbarunya: All New Jupiter Z1. Produk ini merupakan sepeda motor bebek pertama Yamaha yang mengaplikasikan teknologi sistem pembakaran Fuel Injection (FI) yang menjadi puncak teknologi seri Jupiter Z dengan karakter kencang favorit kawula muda. Kecanggihan teknologi Fuel Injection ini semakin menyempurnakan All New Jupiter Z1 yang masyhur dengan karakter kecepatannya. Sesuai tagline “Yang Lain Semakin Ketinggalan Lagi” dan key message “Me

Novel "Diary Pramugari" Karya Agung Webe

Judul: Diary Pramugari Penulis: Agung Webe Penerbit: Pohon Cahaya, 2011 Isi: 352 halaman ISBN: 978-602-97133-3-6 Novel yang diangkat dari kisah nyata ini bercerita tentang Jingga, bukan nama sebenarnya. Jingga adalah seorang pramugari asal Solo. Trauma masa lalu membuat Jingga membenci laki-laki. Jingga menganggap semua laki-laki hanya menginginkan tu buh wanita saja.Namun pandangan Jingga mulai berubah ketika bertemu dan mengenal Alvin, seorang pramugara senior. Cerita selengkapnya bisa Anda baca dalam novel "Diary Pramugari" karya Agung Webe yang diterbitkan oleh Penerbit & Percetakan Pohon Cahaya. Harga: Rp. 45.000, - (belum termasuk ongkos kirim. Harga ongkos kirim tergantung alamat pengiriman dan jenis pengiriman yang dipilih, biasa/regular/kilat). HUBUNGI: Willy (081578720934)