Saya selalu merasa bersalah setiap kali saya sengaja atau tidak
sengaja membuang makanan. Ada perasaan berdosa di dalam hati bila hal itu saya
lakukan. Saya tidak pernah tahu, mengapa hati saya sebegitu sensitif tentang
hal ini.
Beberapa kali saya menegur istri karena membuang bahan sayur yang
sudah layu atau busuk karena belum sempat dimasak setelah kemarin dibelinya.
Istri saya selalu bilang, “Kalau kita punya kulkas, ya nggak akan terbuang
percuma.” Ya, maklum, sebagai pasangan yang baru membangun rumah tangga,
perabot kami masih minim. Kulkas pun belum punya.
Selain itu, saya juga tidak bisa menyalahkannya. Ia memang tidak
sempat memasak karena lelah seharian mengasuh si kecil.
Itu kasus di rumah. Di tempat lain, misalnya di kondangan, saya
pernah menemukan teladan yang tidak baik dari seseorang yang waktu itu dianggap
sebagai sesepuh di desanya. Kebetulan beliau duduk di depan saya dan dalam
acara resepsi pernikahan itu beliau didaulat mengisi ceramah, memberi wejangan
kepada pengantin baru.
Pada saat makanan dibagikan oleh petugas sinoman (pelayan sukarela
dalam pesta), beliau memang menerima piring berisi nasi dan sejumlah lauk. Pada
saat orang-orang di sekitarnya sedang sibuk makan, beliau ini hanya
mengubrak-abrik nasinya tanpa disantap lalu meletakkannya begitu saja di bawah
kursi.
Saya terkejut melihatnya. Batin saya, bukankah beliau ini sebagai
orang tua seharusnya tahu bagaimana caranya menghargai makanan? Bila beliau
memang tidak ingin memakannya, mengapa nasi dan lauk di piring itu tidak
dibiarkan dalam kondisi seperti saat menerimanya? Bukankah orang-orang yang
sudah dewasa selalu mengajarkan kepada generasi di bawahnya untuk menghargai
makanan?
Pengalaman lain saat saya mengantar istri membeli es krim di
sebuah restauran cepat saji. Saya sebetulnya bukan penggemar es krim, tetapi
istri saya juga memesankan saya satu es krim sundae cokelat sedangkan dia
memilih stroberi. Tetapi saat itu pelayan salah menangkap pesan istri saya. Dia
menyodori kami dua es krim sundae stroberi. Saya lalu mengatakan kepada si
pelayan bahwa saya pesan yang cokelat. Tetapi kalau memang sudah telanjur ya
tidak apa-apa, pikir saya.
Sayangnya, sebelum saya sempat mengatakannya kepada pelayan,
serta-merta pelayan itu langsung membawa salah satu es krim sundae stroberi ke
belakang. Saya pikir es krim itu mau disimpan ke dalam freezer. Ternyata bukan. Saya melihat pelayan itu tanpa terlihat
merasa berdosa membuang es krim yang masih utuh itu ke tong sampah.
Saya jadi bertanya-tanya, apakah begitu prosedurnya? Bukankah itu
merugikan restauran itu sendiri? Mengapa mereka tidak mencoba bernegosiasi
dengan saya dulu, apakah saya mau menerima es krim itu dan sebagai permintaan
maaf diberi bonus gratis seperti yang saya pesan? Sama-sama rugi satu es krim,
tetapi setidaknya tidak dibuang sia-sia.
Tentang restauran cepat saji, ada kisah menarik yang difilmkan
oleh Ferdinand Dimadura. Judulnya “Chicken a la Carte”. Film ber-setting Filipina
ini bercerita tentang seorang bapak yang mengambil sisa-sisa makanan dari
sebuah restauran cepat saji dan membawanya pulang. Bapak ini hanya mengambil
tulang-tulang ayam yang masih ada daging yang menempel (tanda bahwa pengunjung
restauran itu juga tidak menghabiskan makanannya).
Tulang-tulang itu bukan akan ia berikan untuk anjing atau kucing
peliharaannya, tetapi ia bagikan untuk anak-anak miskin di suatu kampung
(mungkin di sekitar tempat tinggalnya). Terlihat betapa bahagianya anak-anak
itu memakan daging-daging yang masih melekat di tulangnya. Ah, saya sendiri
tidak bisa membayangkan seperti apa rasanya.
Lalu, sebagian dari tulang-tulang yang ia bawa dari
restauran itu ia bawa pulang ke rumah. Di sana, anak-anaknya sudah menantinya.
Ketika sang ayah pulang, mereka menyambut dengan sukacita karena saat itu
adalah waktu makan malam bersama.
Di atas piring yang masih bersih, bapak itu membagi-bagikan
sisa-sisa makanan yang ia bawa pulang itu kepada anak-anaknya. Sisa-sisa
makanan itu langsung disajikan di atas piring tanpa digoreng ulang. Sebelum
makan, bapak itu mengajak anak-anaknya berdoa. Bersyukur atas “rezeki” yang
mereka terima pada malam itu.
Melihat film ini, saya benar-benar speechless.
Pada film lain, saya lupa judulnya, yang dimainkan oleh aktor Chow
Yun Fat, saya juga menemukan pesan moral berkaitan dengan menghargai makanan.
Dalam film itu diceritakan ketika tokoh yang diperankan Chow Yun Fat merantau
ke Amerika dan di negeri Paman Sam itu ia membuka restauran Cina.
Ada orang bule datang ke restauran itu dan memesan nasi goreng.
Orang bule itu menghina nasi goreng yang disajikan di hadapannya. Mengetahui
hal itu, Chow Yun Fat keluar dari dapur dan berteriak marah sambil memakan nasi
goreng yang sudah dihidangkannya itu. Kurang lebih ia berkata begini, “Nasi ini
adalah ibuku!”
Lalu, dalam serial Taiwan berjudul “Poor Prince” (diadaptasi
dari “Yamada Taro Monogatari”) yang dimainkan oleh Vic Zhou, saya mendengar
kalimat, “Dalam sebutir nasi ada tujuh dewa.”
Sedangkan di Jawa ada mitos Dewi Sri mengenai asal mula
terciptanya tanaman padi.
Semua hal di atas
sebenarnya mau mengatakan, hendaknya kita menghargai setiap makanan. Karena di
balik setiap bahan makanan ada keringat yang mengucur deras untuk
menyediakannya. Kita pun perlu membanting tulang untuk bisa makan.
Jadi, mengapa kita tega menyia-nyiakan
makanan?
Willy Putranta
Comments
Post a Comment