Skip to main content

Pengendara di Bawah Umur

Anak tetangga yang sudah jago nyemplak motor sejak masih SD. Dok. Pri.

Tabrakan, Lima Tewas, Anak Ahmad Dhani Patah Tulang
TRIBUNnews.com – Min, 8 Sep 2013

Salah seorang anak musisi Ahmad Dhani, Abdul Qodir Jaelani, mengalami tabrakan di Tol Jagorawi mengarah ke Pondok Indah. Dul--sapaan karib Abdul Qadir Jaelani--mengalami luka dan patah tulang.
Mobil yang dikendarai Dul menabrak dua mobil lainnya di Kilometer 8, Minggu (8/9/2013) sekitar pukul 00.45 WIB. Dul merupakan satu dari 11 korban luka dalam kecelakaan tersebut. Sedangkan lima lainnya tewas.
Dul kini dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. “Dul sehabis mengantar pacarnya dari Cibubur, pulang ke Pondok Indah. Dia mengalami patah tulang kaki, dan sedikit trauma,” kata Ahmad Dhani di RS Pondok Indah.
Ada tiga kendaraan yang terlibat kecelakaan maut tersebut yakni Lancer B 805 AL, Granmax B 1349 TFN dan Avanza B 1882 UZJ.

Kabar kecelakaan anak bungsu Ahmad Dhani itu langsung jadi berita heboh di media massa. Banyak orang memperbincangkan soal umur Dul yang masih tiga belas tahun, tetapi sudah menyetir mobil sendiri, bukan duduk di kursi penumpang.
Kehebohan itu sebenarnya terjadi karena posisi Dul sebagai anak musisi terkenal. Nilai jual beritanya pun tinggi. Maka, berita tentang kasus ini tidak hanya muncul di program berita umum saja, tetapi juga masuk ke dalam berita infotainment (berhubung Dul berasal dari keluarga selebritis).
Nah, bagaimana jika Dul bukan dari kalangan selebritis, bukan anak Ahmad Dhani?
Katakanlah, Dul ini anak Babe Sabeni yang punya seonggok opelet warna biru itu. Dul bin Sabeni ini usianya masih sama-sama 13 tahun, tapi biasa menyetir opelet babenya dari Cinere ke Gandul.
Suatu kali, nasib nahas menimpanya.
Karena dapat sewa (penumpang) yang ngotot minta diantar ke suatu tempat yang harus melewati Tol Jagorawi, Dul menyanggupinya. Berhubung di jalan tol setiap mobil harus kencang (sesuai kecepatan yang disarankan rambu-rambu), Dul bin Sabeni terpaksa menginjak dalam-dalam pedal gas opeletnya.
Dasar mobil tua, kemampuan larinya tidak optimal. Celakanya, remnya ternyata blong kehabisan kampas dan Dul bin Sabeni tidak mampu mengontrol laju opeletnya. Dan, terjadilah kecelakaan itu. Enam orang tewas dan belasan orang luka gara-gara ulahnya.
Kasus kecelakaan ini pun mengundang wartawan untuk meliputnya. Lalu, bagaimana soal kehebohan beritanya?
Ya, tetap heboh. Jadi perbincangan banyak orang. Tetapi kemungkinan besar tidak dibuat heboh-heboh amat. Paling-paling di akhir berita, pemirsa diberi imbauan agar tidak membiarkan anak-anak di bawah umur untuk mengendarai kendaraan bermotor sebelum mereka cukup umur (dapat SIM pada usia 17 tahun).
Kalau sudah begitu, so what?
Apakah imbauan seperti itu sudah cukup?
Sama sekali tidak.
Kita lihat saja ke sekeliling kita. Banyak orang yang membiarkan anak-anaknya yang masih SD mengendarai, lebih sering, sepeda motor. Jenis sepeda motor yang mereka kendarai bukan cuma skuter matik atau bebek (underbone), tetapi juga sepeda motor sport yang body-nya bongsor.
Kadang kaki mereka pun belum mampu menyentuh footstep, makanya mereka duduk di ujung depan jok/sadel. Nah, posisi duduk seperti ini membuat mereka punya ruang lebih lega untuk memboncengkan beberapa temannya. Dua sampai tiga orang. Sudah begitu, mereka sama sekali tidak memakai piranti keselamatan, misalnya helm. Ditambah dengan kesenangan mereka menarik gas dalam-dalam. Mungkin buat mereka, semakin kencang mengendarainya, terasa semakin keren dan hebat.
Tetapi mereka tentu tidak berpikir risiko terjadi kecelakaan akibat ulah mereka. Ya, yang seharusnya berpikir bukan mereka, tetapi orang tua mereka tentunya punya otak yang waras untuk bisa mencegah anak-anak yang belum cukup umur itu untuk kebut-kebutan dengan sepeda motor. Atau, para orang tua itu justru bangga karena anak-anaknya yang masih kecil sudah bisa mengendarai sepeda motor?
Saya masih ingat sebuah peristiwa yang membuat saya jengkel luar biasa. Bayangkan saja, saya sebagai orang yang umurnya 30 tahun, jadi bahan ledekan anak-anak labil berumur 10 tahun itu.
Saat itu saya hendak pergi ke kantor lama saya untuk suatu keperluan. Karena letak kantor itu di tengah-tengah pemukiman warga, maka saya lewat sebuah gang kampung yang diplester semen.
Di ujung pertigaan, saya berhenti untuk memastikan bahwa saya aman menyeberang (walaupun di tengah kampung, tetapi gang itu lumayan ramai lalu lintasnya). Nah, dari sebelah kanan, muncul rombongan anak-anak kecil mengendarai sejumlah sepeda motor.
Saya melihat, salah satu anak yang mengendarai motor paling depan, tidak memperhatikan jalan, tetapi kepalanya menoleh ke belakang untuk berkomunikasi dengan teman-temannya. Lalu saya memilih melipir di bahu jalan sebelah kanan supaya membiarkan anak-anak itu melewati saya. Niat saya, setelah rombongan bocah-bocah labil itu berlalu, saya baru menyeberang. Karena anak yang paling depan itu masih menoleh ke belakang, saya memberi kode dengan membunyikan klakson. Anak yang paling depan itu pun merespons.
Ya, respons yang saya harapkan, anak itu kembali memperhatikan jalan, memang terwujud. Tetapi, ada respons lain yang tidak saya duga. Anak itu meneriaki saya, “Kalau jalan itu di sebelah kiri, Mas! Ha ha ha ha …!!!”
Teman-temannya pun tertawa terbahak-bahak dan saya jadi merasa konyol di hadapan mereka. Huh! Rasanya ingin sekali saya melempar anak itu dengan setang. Tetapi itu tidak saya lakukan. Toh, mereka hanya anak-anak kecil yang kurang mendapat pengarahan yang tepat dari orang tua maupun gurunya.Lagipula, ngapain saya repot-repot mencopot setang untuk ditimpuk?
Ya, kata-kata anak itu memang betul. Mengendarai kendaraan itu harus melewati lajur sebelah kiri. Tetapi, apakah anak-anak itu juga tidak menyadari kalau ulah mereka justru yang membuat saya memilih jalur kanan untuk membiarkan mereka berlalu lebih dulu supaya saya bisa menyeberang dengan aman? Apakah si anak paling depan itu juga sadar bahwa usianya belum cukup untuk mengendarai sepeda motor yang dirancang untuk digunakan oleh orang dewasa? Apakah ia juga sadar bahwa caranya berkendara itu tidak aman dan membahayakan dirinya dan orang lain?
Ini baru soal motor. Orang-orang yang punya mobil pun tak jarang membiarkan anak-anaknya yang masih butuh memajukan posisi jok mobil agar kakinya mampu menjangkau pedal gas, rem, dan kopling. Tetapi hal seperti ini jarang dicermati. Baru kemudian ketika kasus Dul bin Ahmad Dhani diberitakan media massa, fokus perhatian banyak orang pun terarah ke sana.
Entahlah, apakah kasus ini akan ditindaklanjuti menjadi hukum yang mengatur secara tegas pemberian izin orang tua kepada anak-anaknya untuk mengendarai sendiri kendaraan bermotor atau tidak, saya tidak tahu. Yang jelas, di negeri ini segalanya sering hangat-hangat tahi ayam. Ketika kasus seperti ini baru hangat-hangatnya, banyak orang memperbincangkan, membuat wacana, membuat peraturan, dan sebagainya. Tetapi ketika banyak orang sudah mulai lupa, perbincangan, wacana, dan aturan itu bakal hilang dengan sendirinya.
Jalan yang paling baik adalah mengadakan gerakan bersama untuk mencegah anak-anak kecil mengendarai kendaraan bermotor. Gerakan ini harus dicanangkan oleh pemerintah secara konsisten dan tiada henti dengan menerjunkan kader-kader sampai ke tingkat RT. Orang-orang tua diberi pendididkan dan kesadaran sambil berpesan, “Kalau benar-benar mencintai anak-anak Anda, jangan biarkan mereka terbunuh oleh sepeda motor/mobil yang dikendarainya.”
Anak-anak kecil pun diberi pemahaman dan pendidikan agar menyadari bahwa mereka belum cukup umur untuk mengendarai kendaraan bermotor. Biarkan mereka menunggu saatnya tiba. Pasti momen mendapatkan SIM (bukan nembak, ada sertifikat kursus mengendarai sepeda motor/mobil—walau sudah bisa secara autodidak tetap harus ikut kursus sebagai syarat dapat SIM) pada usia 17 tahun menjadi kado istimewa yang mereka tunggu-tunggu. Momen seperti ini pasti akan sangat mengesan bagi mereka.
Saya yakin, seiring perkembangan zaman dan kemajuan pola berpikir (iya kalau maju) masyarakat, niscaya idealisme seperti itu dapat tercapai.
Gerakan yang digembar-gemborkan segelintir pihak tentu tidak akan berhasil jika masyarakat sendiri enggan mensukseskannya.
Saya sendiri, bersama istri sudah berjanji, anak-anak kami baru akan kami perkenankan mengendarai kendaraan bermotor pada saat usianya sudah tepat. Kami akan memberi pengertian kepadanya agar jangan malu dan iri bila melihat teman-teman sebayanya sudah biasa mengendarai kendaraan bermotor meski usianya baru 10 tahun. Kami juga tidak akan mengizinkan ia mau dibonceng oleh temannya itu.
Biarkan saja dibilang tidak keren, nggak gaul, cemen, dan sebagainya. Ocehan seperti itu tidak perlu didengar. Kalau kita punya prinsip, ocehan seperti itu hanyalah manifestasi ketidakdewasaan dan kedangkalan berpikir seseorang. Biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. He he he ….
Eh, OOT sedikit. BTW, si Dul bin Ahmad Dhani yang baru 13 tahun itu kok pulang ngapelnya sampai lewat tengah malam ya? Ngapain aja sama ceweknya?
Ah, usil amat!


Comments

Popular posts from this blog

Sepeda Motor Bebek Injeksi Kencang dan Irit Jupiter Z1

Pernahkah Anda membayangkan sedang mengendarai seekor naga, reptil legendaris yang banyak dikisahkan dalam mitologi-mitologi dunia? Naga, dalam berbagai ragam budaya dan peradaban, digambarkan sebagai makhluk sakti yang berwujud ular atau kadal bersayap. Beberapa versi menyebutkan seekor naga mampu menyemburkan napas api dari mulutnya. Naga juga dapat dijadikan sebagai kendaraan, terutama untuk bertempur. Rupanya, sosok naga ini menginspirasi Yamaha Indonesia ( http://www.yamaha-motor.co.id/ ) untuk menghadirkan sebuah produk sepeda motor terbarunya: All New Jupiter Z1. Produk ini merupakan sepeda motor bebek pertama Yamaha yang mengaplikasikan teknologi sistem pembakaran Fuel Injection (FI) yang menjadi puncak teknologi seri Jupiter Z dengan karakter kencang favorit kawula muda. Kecanggihan teknologi Fuel Injection ini semakin menyempurnakan All New Jupiter Z1 yang masyhur dengan karakter kecepatannya. Sesuai tagline “Yang Lain Semakin Ketinggalan Lagi” dan key message “Me

Novel "Diary Pramugari" Karya Agung Webe

Judul: Diary Pramugari Penulis: Agung Webe Penerbit: Pohon Cahaya, 2011 Isi: 352 halaman ISBN: 978-602-97133-3-6 Novel yang diangkat dari kisah nyata ini bercerita tentang Jingga, bukan nama sebenarnya. Jingga adalah seorang pramugari asal Solo. Trauma masa lalu membuat Jingga membenci laki-laki. Jingga menganggap semua laki-laki hanya menginginkan tu buh wanita saja.Namun pandangan Jingga mulai berubah ketika bertemu dan mengenal Alvin, seorang pramugara senior. Cerita selengkapnya bisa Anda baca dalam novel "Diary Pramugari" karya Agung Webe yang diterbitkan oleh Penerbit & Percetakan Pohon Cahaya. Harga: Rp. 45.000, - (belum termasuk ongkos kirim. Harga ongkos kirim tergantung alamat pengiriman dan jenis pengiriman yang dipilih, biasa/regular/kilat). HUBUNGI: Willy (081578720934)

Mata Angin

Arah mata angin menurut budaya Batak. (Sumber: habatakon01.blogspot.com) “Barat itu mana ya?” tanya seorang teman ketika saya memberi ancer-ancer sebuah lokasi yang akan dicarinya. “Barat itu arah yang menjadi letak matahari terbenam,” terang saya. Begitulah salah satu pengalaman saya ketika berjumpa dengan seseorang yang buta terhadap arah mata angin. Biasanya, tanpa bermaksud menyinggung, orang-orang yang tidak paham arah mata angin tidak tumbuh di lingkungan budaya Jawa. Di lingkungan budaya Jawa, masyarakat sudah terbiasa menyebut mata angin sebagai penunjuk arah. Di Amerika pun sepertinya demikian. Sebab ketika menonton sebuah film, kadang terselip ucapan dari salah satu karakter dalam film itu yang mengatakan akan pergi ke utara, misalnya. Orang-orang yang tidak terbiasa dengan arah mata angin biasanya hanya mengatakan kanan atau kiri untuk menunjukkan posisi atau lokasi. Seperti ketika saya berada di Jakarta, ketika saya bertanya kepada seseorang, ia hanya memberi informasi